Fear in the Midst of God’s Presence

Fear in the Midst of God’s Presence

Kita hidup di dunia yang terus mendorong kita untuk mencari penerimaan manusia — takut ditolak, takut dianggap gagal, takut tidak sesuai harapan orang lain. Tapi Alkitab mengingatkan bahwa takut akan manusia adalah jerat (Amsal 29:25), sementara takut akan Tuhan adalah awal dari hikmat. 

Hari ini kita akan melihat bagaimana ketakutan kepada manusia dapat menuntun pada keputusan yang salah, seperti yang dialami Saul, dan bagaimana hanya dengan takut kepada Tuhan, kita bisa tetap berdiri teguh di tengah tekanan. Pertanyaannya bukan lagi: “Apa yang orang pikirkan tentangku?” tapi: “Apa yang Tuhan pikirkan?

Dietrich Bonhoeffer adalah seorang pendeta dan teolog Jerman terkenal, yang hidup di masa kekuasaan Adolf Hitler. Ia dikenal karena keberaniannya menentang rezim Nazi, padahal mayoritas gereja di Jerman saat itu memilih kompromi karena takut pada pemerintah.

Pada masa Hitler, banyak pemimpin gereja diam atau bahkan menyokong kekuasaan Nazi demi keselamatan diri dan lembaga mereka. Tapi Bonhoeffer justru bersuara keras menentang ideologi Nazi, khususnya perlakuan mereka terhadap orang Yahudi. Ia mendirikan Confessing Church—gereja bawah tanah yang berpegang pada kebenaran Firman, bukan pada politik kekuasaan.

Bonhoeffer menolak diam, walaupun ia tahu konsekuensinya bisa fatal. Bahkan saat berada di Amerika dan bisa aman, ia memutuskan kembali ke Jerman (1931), karena merasa Tuhan memanggilnya untuk tidak lari dari penderitaan bangsanya.

Bonhoeffer akhirnya ditangkap, dipenjara, dan dihukum mati oleh rezim Nazi hanya beberapa minggu sebelum perang berakhir. Tapi hingga akhir hayatnya, ia tetap memegang teguh imannya. Ia menulis dari penjara, melayani sesama tahanan, dan tidak pernah menyesal telah memilih takut akan Tuhan lebih dari takut pada manusia.

Bonhoeffer bisa saja diam demi keselamatan, reputasi, atau kenyamanan. Tapi ia tahu bahwa ketaatan kepada Allah jauh lebih penting daripada rasa aman yang palsu. Hingga hari ini, hidupnya menginspirasi jutaan orang untuk tidak tunduk pada tekanan dunia, melainkan hidup setia di bawah otoritas Kristus.

Takut akan manusia membuat kita diam ketika kita seharusnya bersuara. Tapi takut akan Tuhan membebaskan kita untuk melakukan apa yang benar, bahkan jika kita harus membayar mahal.

Jadi, takut orang atau takut Tuhan? Dalam hidup, kita sering menghadapi tekanan: dari lingkungan, teman dan keluarga. Pertanyaannya adalah: Apakah kita akan taat kepada Tuhan, atau tunduk pada ketakutan akan manusia?

Saul, raja pertama Israel, membuat pilihan yang salah ketika ia lebih takut pada rakyatnya daripada kepada Allah. Mari kita belajar dari kesalahannya, agar kita bisa memilih iman bukan ketakutan.

Pada saat itu, orang Filistin sedang mengumpulkan tentara untuk menyerang Israel. Rakyat mulai ketakutan dan ada yang bersembunyi bahkan pergi. Saul kuatir bila ia menunggu lebih lama, maka orang Filistin akan mengumpulkan lebih banyak tentara, dan hal itu sangat berbahaya bagi Israel.

Selain ia “terburu-buru” karena kuatir musuh semakin kuat, ia juga khawatir karena rakyat mulai berserakan. Ia takut ditinggalkan rakyatnya, kehilangan dukungan dan kekuasaan. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mempersembahkan kurban, padahal hal ini hanya boleh dilakukan oleh Samuel sebagai nabi.

Hanya takut akan Tuhan yang dapat membebaskan kita dari rasa takut kepada manusia. – John Witherspoon

Takut akan manusia: menggambarkan ketergantungan pada tekanan, opini, atau ancaman manusia, lebih dari percaya pada kedaulatan Tuhan. Takut kepada orang mendatangkan jerat, tetapi siapa percaya kepada TUHAN, dilindungi. (Amsal 29:25 TB)

Takut akan Tuhan: bukan rasa takut seperti seseorang yang sedang dicekam kecemasan atau kepanikan, tetapi maksudnya penghormatan yang dalam terhadap kekudusan, otoritas, dan kedaulatan Allah. Takut akan Tuhan dinyatakan dengan melakukan kehendak-Nya. Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya. (Pengkhotbah 12:13 TB)

Sebagai murid Yesus, kita harus berusaha menyenangkan Allah, walaupun kadang tidak menyenangkan beberapa orang tertentu.

Tantangan di tempat kerja: Apakah saya menuruti atasan yang mendesak saya untuk melakukan penipuan, pemalsuan, mengantar “entertain” supaya dapat proyek atau saya menolak? Apakah saya tergoda untuk melakukan tekanan atasan demi “keamanan karir” atau saya takut akan Allah tapi ada risikonya?

Tantangan di sekolah: Apakah saya ikut saling mencontek, karena kalau tidak ikutan, mereka berkata saya sok suci? Apakah saya menolak bila diajak menonton video porno, tapi kalau menolak dikatai sebagai orang aneh dan dikucilkan? Apakah saya lebih takut dicap kolot dan kurang gaul lalu dikucilkan, atau saya lebih ingin menyenangkan hati Tuhan.

APLIKASI: Apakah kita mengambil keputusan karena tekanan manusia, takut tidak disukai, takut kehilangan posisi, takut dianggap lemah? Apakah saya sedang menuruti suara manusia daripada suara Tuhan?

Fear in the midst of God’s presence

Ketakutan di tengah penyertaan Tuhan, bisa kita alami sebagai orang percaya.

1 Samuel 13:10-12 (TB2)

[10] Baru saja ia selesai mempersembahkan kurban bakaran, muncullah Samuel. Saul pergi menyongsongnya untuk memberi salam kepadanya.

[11]  Tetapi, kata Samuel, “Apa yang telah kauperbuat?” Jawab Saul, “Aku melihat rakyat terpencar-pencar meninggalkan aku dan engkau tidak datang sampai waktu yang telah ditentukan, sementara orang Filistin telah berkumpul di Mikhmas,

[12] pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerangku di Gilgal, padahal aku belum memohon perkenanan TUHAN. Sebab itu, aku memaksa diri untuk mempersembahkan kurban bakaran.”

Saul tahu Tuhan menyertainya (1 Sam. 10:7 Apabila tanda-tanda ini terjadi kepadamu, lakukanlah apa saja yang didapat oleh tanganmu, sebab Allah menyertai engkau), tapi karena tidak merasa dikasihi, ia mengambil kendali sendiri. (1 Sam. 13:12 … aku memberanikan/memaksa diri, lalu mempersembahkan kurban bakaran). Kata “memohonkan belas kasihan” adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak merasakan kasih Tuhan.

Saul percaya bahwa Tuhan menyertainya

  • Saul tahu Tuhan menyertainya ketika tanda-tanda itu terjadi (1 Sam. 10:7) → Itulah mengapa Saul mau menanti Samuel 7 hari lamanya.
  • Saul tahu bahwa Tuhan akan menolong umat-Nya jika mereka mencari wajah-Nya → itulah mengapa Saul ingin mempersembahkan kurban
  • Saul tahu bahwa penyertaan Tuhan hasilnya adalah kemenangan → Itulah mengapa Saul menyuruh sebagian rakyat pulang (1 Sam. 13:2) padahal perbandingan jumlah pasukan Israel dan Filistin jauh sekali.

Tapi…

Saul tidak merasa dikasihi Tuhan

  • Ia merasa ditinggalkan → Samuel tidak kunjung datang, rakyat lari)
  • Ia merasa perlu mengambil kendali sendiri → merasa bahwa Tuhan tidak segera bertindak
  • Ia bertindak bukan dari rasa damai dan kepercayaan penuh, melainkan dari ketakutan dan tekanan

Ini menunjukkan bahwa tanpa kasih, penyertaan pun terasa jauh dan menakutkan.

Di luar kasih, iman menjadi rapuh. Di luar keintiman, ketaatan berubah menjadi ketakutan.

1. Penyertaan ≠ Kasih dirasakan → Orang bisa tetap “melayani”, “melakukan kehendak Tuhan”, bahkan “menunggu Tuhan”, tetapi tidak mengalami hubungan yang akrab dan penuh kasih dengan Tuhan. Ini seperti pekerja yang tahu perintah majikannya, tapi tidak merasa dirinya anak yang dikasihi.

2. Ketika Kasih tidak dirasakan, kita cenderung mengandalkan diri sendiri → Saul merasa perlu mempersembahkan korban sendiri — tindakan yang melampaui wewenangnya — karena ia tidak merasa aman dalam kasih Tuhan. → Kasih menciptakan rasa aman dan percaya diri dalam menunggu waktu Tuhan.

3. Kasih Allah adalah dasar ketaatan sejati → Mereka yang hidup dalam kesadaran bahwa Tuhan mengasihi mereka, akan lebih sabar, taat, dan tidak mudah panik. Contoh kebalikannya bisa dilihat dalam pribadi Daud, yang meski dikejar-kejar musuh, tetap mengandalkan Tuhan dan tidak mengambil jalan pintas.

Rasa “tidak dikasihi Tuhan” bisa membuat iman jadi dingin, pelayanan jadi rutinitas, dan ketaatan berubah menjadi tekanan.

1 Yohanes 4:18 (TB)

[16] Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.

[18] Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.

Ambil langkah iman (faith):

  1. Mengenal → ada kedekatan → Saul tidak memiliki kedekatan personal seperti Daud. Kita kemarin sudah belajar bahwa tidak semua orang yang dipilih, dipakai oleh Tuhan, itu mau dibentuk oleh Tuhan.
  2. Percaya → Yoh. 14:1 “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku” → Saul pada akhirnya tertekan dan mengambil kendali sendiri.
  3. Tetap → berdiam, tinggal, menetap atau berakar → Konsisten, memelihara dengan sungguh-sungguh. → Saul tidak tetap diam, tapi mengambil alih tugas Samuel, ia tidak memelihara kewajiban nabi dan melakukan pekerjaan yang bukan tugasnya.
  4. Allah di dalam dia → 1 Kor. 3:16 Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? → Saul tidak menyadari bahwa Roh Allah tinggal di dalamnya dan sedang dibentuk oleh Allah namun ia menolak dibentuk oleh Allah.
  5. Kasih melenyapkan ketakutan. → Iman yang lahir dari kasih lebih powerful daripada hanya percaya penyertaan Tuhan. → Pada akhirnya Saul tenggelam pada ketakutan.

Iman tanpa kasih dapat melahirkan ketaatan yang terpaksa atau salah arah. Rasa dikasihi oleh Tuhan memberi rasa aman. Jika ingin melenyapkan ketakutan (faith over fear), maka kembalilah ke dalam kasih Yesus, yang sudah memberikan diri-Nya untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita.

Tuhan Yesus memberkati.

Our Dashboard

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *